DATA
TENTANG PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN DI INDONESIA PADA FAKTOR RISIKO
KARDIOVASKULER.
Pendahuluan:
Penyakit Kardiovaskular
(PKV) merupakan penyebab kematian utama di berbagai negaara maju dan tampak
adanya kecenderungan meningkat sebagai penyebab kematian diberbagai negara
berkembang. PKV khususnya penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab yang
perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam pada negara berkembang. Kemajuan
ekonomi memberikan dampak, cepatnya penanggulangan penyakit menular. Sebagai
konsekuensinya, di sisi lain, PKV bergeser menjadi penyebab kematian utama
dimana sebelumnya penyakit menular merupakan penyebab kematian utama. Tingginya
kadar plasma total cholesterol, hipertensi arterial dan kebiasaan merokok
merupakan 3 faktor risiko utama PJK. Hipercholesterolemia menempati posisi yang
sangat penting sebab hipercholesterolemia adalah satu-satunya faktor risiko
yang dapat menyebabkan timbulnya atherosclerosis. Pola makan atau diet erat
kaitannya dengan hipercholesterolemia. Pola makan atau diet merupakan salah
satu faktor lingkungan utama penyebab timbulnya PJK melalui kolesterol darah.
Obesitas khususnya obesitas central merupakan faktor risiko PKV yang juga dapat
dimodifikasi. Lifestyles atau pola hidup serta kondisi lingkungan dimana
seseorang hidup besar pengaruhnya terhadap derajat status kesehatan sesesorang.
Bukti-bukti ilmiah pada akhir-akhir ini menunjukkan pentingnya peranan faktor
sosial sebagai determinan dari pada status derajat kesehatan khususnya penyakit
tidak menular dalam hal ini penyakit kardiovaskular. Faktor-faktor sosial yang
diidentifikasi sebagai determinan suatu status derajat kesehatan antara lain,
kemiskinan, stress, pekerjaan, pendidikan, perkembangan & pertumbuhan
lingkungan di masa kecil, transportasi, addiksi obat, rokok, alhohol serta pola
makan. Studi ini menggunakan data Riskesdas tahun 2007 untuk meneliti gambaran
determinan sosial dan faktor risiko kardiovaskuler.
Pada gambar
diatas dapat terlihat secara umum, daerah urban memiliki prevalensi obesitas
sentral lebih tinggi dibandingkan daerah rural. Hal ini terlihat pada kategori
asupan lemak <30% dan > 30%, pada perokok dan bukan perokok, pada
aktifitas fisik kurang dan aktifitas fisik cukup serta pada yang stress dan
yang tidak stress. Berdasarkan asupan lemak, prevalensi obesitas sentral daerah
rural-urban yang asupan lemaknya > 30% lebih tinggi dibandingkan daerah
rural-urban yang asupan lemaknya < 30%. Sama halnya dengan prevalensi
obesitas sentral daerah rural-urban bukan perokok lebih tinggi dibandingkan
daerah rural-urban bagi perokok. Namun, prevalensi obesitas sentral pada daerah
urban yang aktifitas fisiknya cukup (42,5%) justru lebih tinggi dibandingkan
daerah urban yang aktifitas fisiknya kurang (38,1%). Sementara pada daerah rural,
prevalensi obesitas sentral pada yang aktifitas fisiknya cukup (28,9%) hanya
berbeda sedikit dengan yang aktifitas fisiknya kurang (29%). Prevalensi
obesitas sentral pada daerah urban lebih tinggi pada yang tidak stress (41,8%).
Sedangkan pada daerah rural, prevalensinya lebih tinggi pada yang mengalami
stress (34,1%).
Kesimpulan
:
Mereka yang tinggal
didaerah urban dan juga tinggal di pulau Jawa/Bali, berpendidikan rendah,
mengkonsumsi asupan lemak yang > dari 30% terhadap total kalori, tidak
merokok, aktifitas fisik kurang dan mengalami stress merupakan faktor
determinan yang cukup bermakna terhadap variasi kadar cholesterol darah dan
prevalens obesitas. Kondisi faktor-faktor
lingkungan sosial atau pola hidup pada mereka yang tinggal di daerah urban ini
merupakan determinan variabel yang dapat dimodifikasi seperti asupan makan
lemak/pola makan, aktfitas fisik dengan demikian faktor risiko kardiovaskular
khususnya hypercholestolemia & obesitas dapat dicegah.
Daftar
pustaka:
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-ptm.pdf